Membuat Tongkat dari bahan Bertuah
Tongkat kayu Sulaiman dari Hutan Sumbawa |
Pada masyarakat Bali, tongkat adalah salah satu barang seni yang juga
sekaligus bernilai spiritual. Karenanya, ada tongkat tertentu yang
merupakan simbol keagamaan dan pada bagian lain sejumlah tongkat
diyakini memiliki kekuatan gaib. Berbeda halnya dengan tongkat biasa
atau souvenir untuk wisatawan, maka tongkat-tongkat yang diharapkan
memiliki nilai niskala harus dibuat dari kayu-kayu tertentu dan
memperhatikan sejumlah syarat.
Pedoman Aji Janantaka
Jero Gede Wayan Sacita Nagara, 45 tahun, yang tinggal di banjar Sengguan Kawan, Gianyar adalah seorang perajin yang sekaligus seorang rahaniawan Hindu yang menyebutkan, bahwa tongkat itu dapat dibuat dari berbagai macam jenis kayu, tergantung untuk apa dan menjadi tongkat apa. Ia menyebut berbagai jenis kayu yang baik digunakan sebagai tongkat, seperti, kayu cendana, majegau, krsnadana, bradah dan lain sebagainya. Menurut Jero Gede, apa yang termuat di dalam lontar “Aji Janantaka” sudah memberikan kita garis dan batasan jelas mengenai kayu-kayu apa yang dapat dijadikan tongkat agar memiliki tuahnya tersendiri. Sebut saja kayu “sentigi”, itu adalah kayu sakti yang baik digunakan tongkat bagi kaum yang suka sekali melanglang bhuana dalam dunia magis, atau sekedar suka mengadu ilmu kawisesan.
Kayu itu diyakini sekali memiliki tuah yang dapat menolak serangan gaib dan bila batang kayu itu dipergunakan sebagai tongkat kemudian dibawa oleh orang yang benar-benar “wikan”, maka hasilnya adalah ia menjadi mandraguna. Tongkat itu sendiri juga akan memiliki tuah, jika selesai dibuat, tongkat dibersihkan kemudian disakralisasi lewat sebuah upacara yang bernama “pasupati”.
Pasupati sendiri menurut Jero Gede, hanya sebatas proses sakral yang akan menjadikan pemegangnya pada keyakinan atau sugesti yang lebih kuat dari sebelumnya. Sebab “pasupati” itu sendiri akan membawa dampak psikologis secara niskala bagi pembawanya. Misalnya, jika kita membeli sebuah tongkat yang ada di pasar seni yang tentunya tanpa disertai proses sakralisasi, maka tongkat itu hanyalah sebuah tongkat hiasan yang tidak memiliki makna spiritual, apalagi yang membawa adalah orang-orang biasa.
Lain lagi, jika yang membawa itu adalah seorang wiku, atau sulinggih, kemudian tongkatnya kapasupati, maka akan membawa makna yang jauh lebih dalam dalam aspek niskala dari yang pertama. Namun tidak mesti seorang sulinggih harus memasupati tongkatnya, sebab kembali lagi, itu masalah sugesti dan hanya memperkuat rasa, tidak lebih. Jero Gede sendiri memberikan sebuah pendapat bahwa tongkat yang dibeli di pasar seni yang menjadi barang komersial, jika dibuat dengan proses yang benar, dewasa ayu yang baik, maka tanpa proses pemasupatian pun, maka suatu ketika nanti dapat saja tongkat itu menjadi “hidup” dan bertuah.
Ada banyak contoh kasus untuk hal ini. Jero Gede menuturkan, suatu ketika ada seorang “pemangku” yang membeli sebuah tongkat di pasar seni. Kemudian tongkat itu dibawa pulang dan dipergunakan sebagai mana mestinya untuk membantu jero mangku berjalan karena usianya sudah renta. Tongkat itu sebenarnya tidak mengalami sebuah proses sakralisasi (pasupati) atau sebuah upacara yang lainnya. Bahkan tongkat itu diletakkan sembarangan, sebentar-sebentar ada di bawah kolong tempat tidur, kemudian di dapur atau ditempatkan di depan kamar mandi, sesuai kebutuhan ke mana jero mangku lingsir itu pergi.
Suatu ketika, tongkat itu ternyata mengeluarkan sebuah mukjikzat. Ceritanya, tongkat itu dapat menyembuhkan orang sakit dan dapat melindungi sang pemilik dari berbagai macam serangan gaib. Padahal tongkat itu tidak kapasupati. Di sinilah perannya sebuah kualitas sang pembuat, dan menurut Jero Gede kemungkinan besar saat tongkat itu dibuat, dewasa ayu-nya sangat baik, kemudian kayu yang dipergunakan juga merupakan kayu-kayu utama yang tertera dalam lontar Aji Janantaka dan lontar Taru Pramana. Meskipun tidak kapasupati atau mengalami sebuah proses sakralisasi, namun tuahnya didapat dengan alami.
Jero Gede yang juga merupakan seniman topeng ini memberikan penjelasan, bahwa meskipun tongkat itu kapasupati, namun jika dewasa ayu saat membuat tongkat itu buruk, kemudian kualitas kayunya juga buruk, maka reaksi dan akibat pasupati-nya itu tidaklah dirasakan dengan sempurna. Misalnya, ada sebuah kayu roboh dengan sendirinya karena akarnya dimakan rayap, usianya sudah sangat tua. Kemudian kayu itu tumbuh di tepi selokan atau parit, lalu kayu itu dipotong dan batangnya dijadikan tongkat.
Kayu yang Tidak Baik untuk Tongkat
Saat memotong kayu, saat membuat tongkat, dewasa ayu tidak diperhatikan, setelah jadi malah tongkatnya kapasupati, maka hasilnya tidak akan optimal. Tambah gawat lagi jika kayu itu bukan kayu yang bertuah, alias kayu-kayu nyakitin, maka bukan kebaikan yang diberikan pada pemiliknya namun petaka.
Menurut Jero, kayu-kayu yang berkualitas buruk itu adalah sebagai berikut: (1) Kayu yang pernah disambar halilintar (sander kilat). Misalnya dalam sebuah ladang, hutan atau sawah, tumbuh batang kayu besar, dan hlilintar pernah menyambarnya, maka kayu ini tidak baik untuk tongkat atau bahan bangunan. (2) Kayu mungkatang raga, atau kayu yang roboh sendiri karena termakan usia, rayap dan sebagainya. Juga tidak baik dipergunakan untuk tongkat. Meskipun kayu itu kayu-kayu yang dipandang angker, seperti pule, kepuh rangdu, dan lain-lain. (3) Kayu yang tumbuh di kuburan (setra), meskipun kayunya kokoh, batangnya lurus dan sangat kuat, namun karena tempat tumbuhnya itu di kuburan, maka tidak baik dipergunakan untuk tongkat, apalagi tongkat Ida Sulinggih atau tongkat yang akan dibawa bagi sang wiku. (4) Kayu Tunggak Semi, adalah sebuah pohon yang dulunya pernah dipotong habis dan tumbang, kemudian karena seiring berjalannya waktu, kayu itu tumbuh kembali dan menjadi besar. Lalu batangnya dipotong dan dipergunakan tongkat, maka hasilnya akan buruk. Sebab kayu jenis ini tidak baik dipergunakan untuk tongkat apalagi jika tongkat tersebut, akan dipergunakan untuk benda sakral. (5) Kayu akweh sauca (kayu yang banyak matanya /soca). Kayu ini juga akan sulit untuk dijadikan tongkat, sebab mengingat akan kesukaranlah seseorang yang membuat ukiran bagian atas tongkat.
Berikutnya yang tidak baik digunakan sebagai tongkat adalah, (6) Kayu yang tumbuh menjadi pagar pembatas. Misalnya, jika ada sebuah pekarangan rumah, tanah dan tegalan, kemudian temboknya atau pembatasnya itu ditanam sebuah batang kayu, karena saking lama, batang kayu itu tumbuh besar, lalu dipotong untuk tongkat, maka hasilnya kurang bagus. (7) Kayu surudan adalah kayu yang bekas dipakai untuk hal-hal aneh sebelumnya, misalnya untuk tiang jemuran, atau kayu yang pada awalnya dipergunakan untuk sebuah penyangga tenda, rumah dan pondok atau kubu, maka tidak baik dipergunakan sebagai tongkat. (8) Kayu abilan, adalah kayu bekas disensor, meskipun besar kuat dan panjang, maka tidak baik dipergunakan untuk sebuah tongkat. (9) Kayu bekas rumah juga tidak baik dipergunakan sebagai tongkat. (10) Kayu yang didapat ditempat orang yang habis menggelar upacara Pitra yajna, misalnya dalam sebuah pekarangan ada upacara ngaben, lalu dibuatkanlah sebuah petulangan lembu, bade dan sebagainya. Sisa dari pembuatan itu, juga tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. (11) Kayu yang dahulunya pernah kena tempat musibah, misalnya di dahan kayu itu, pernah ada orang yang gantung diri. Kayu ini juga tidak baik dipergunakan untuk tongkat.
Menurut Jero Gede Sacita, itulah kayu-kayu yang tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. Tetapi jika hanya membuat sebuah tongkat yang tujuannya hanya komersial semata, bersifat profane tanpa sebuah pelibatan proses sakralisasi, maka kayu apa saja, asalkan kuat dan panjang dapat dijadikan sebuah tongkat.
Tetapi jika menginginkan sebuah tongkat yang memiliki tuah bagus, nilai sakral yang tinggi serta memang diperuntukkan untuk sebuah benda-benda sakral, maka perhatikan pemilihan kayu.
Kayu Baik Lainnya
Pria yang tahun 2012 ini juga ngayah sebagai Klian Adat Sengguan Kawan ini, memberikan beberapa contoh kayu yang baik untuk tongkat yang memang diperuntukkan bagi kesakralan baik pengguna ataupun tongkat itu sendiri: Pertama, Kayu yang katunas di pura atau areal suci pura. Bisanya ini tidak dapat diperoleh sembarangan, perlu sebuah ijin dari pengempon pura, jero mangku yang bersangkutan ataupun restu dan berkat dari Ida Bhatara yang memang berstana di pura tersebut. Kayu ini pun jika saat nunas menggunakan banten pejati dan tidak boleh sembarangan main tebang dan main tebas. Perlu sebuah atur piuning ke hadapan Ida Bhatara yang berstana di pura.
Kedua, kayu yang tumbuh di hutan-hutan, tegalan yang tidak menjadi tanaman pembatas jalan atau tanaman pagar halaman atau penyengker. Dengan kata lain, kayu ini tumbuh di wilayah hutan yang memang bebas dari perhitungan kayu buruk seperti yang dipaparkan di atas.
Ketiga, kayu yang bersinar sekala niskala. Kayu jenis ini hanya dapat dideteksi oleh orang-orang yang memang mata batinnya sudah terbuka. Keempat, kayu yang tumbuh di tepai danau, pantai dan juga sungai.
Beberapa contoh kayu yang baik lainnya menurut Jero Gede di antaranya, kayu krsnadana, bradah dan juga santigi atau kayu sulaiman. Semua kayu tersebut baik digunakan sebagai tongkat apalagi untuk pengembara yang suka bepergian ke tengah hutan. Kayu sulaeman sendiri dapat memberikan kita perlindungan dari bahaya serangan ular berbisa. Ular-ular dalam jarak sekian meter akan takut berhadapan dengan orang yang memegang tongkat dari kayu sulaeman. Itulah sebab mengapa kayu sulaeman dipilih oleh sekian banyak pengembara dalam membuat tongkat, sebab hutan adalah wilayah yang banyak dihuni oleh ular dan binatang berbisa lainnya.
Hati-hati Buluh Empet
Selain itu, ada juga tongkat yang terbuat dari tiying empet. Jika kita melihat bamboo (tiying) empet, maka ini adalah jenis bambu yang ada baik dan buruknya untuk dijadikan sebuah tongkat. Bambu ini adalah sebuah bambu yang buluhnya tidak kosong atau empet (mampat). Bambu ini biasanya terbentuk disebabkan karena adanya pemampatan sari energi dalam batangnya atau buluhnya, sehingga ia tidak berlubang dan tidak memiliki rongga. Ada juga yang menyatakan bahwa bambu ini adalah bambu yang digemari oleh makhluk halus.
Ada juga orang yang membuat tongkat mereka dengan menggunakan bambu jenis ini. Jika menggunakan bambu jenis ini, maka seseorang yang membawanya diyakini akan kebal terhadap senjata jenis apa pun dan mampu menghalau makhluk halus lainnya. Juga dapat dipergunakan sebagai penawar racun. Tetapi kemalangannya adalah, seseorang yang membawa tongkat dari bambu empet ini, akan cepat sekali emosi. Amarahnya meledak-ledak dan oleh sebab itulah, mengapa orang yang membawa tongkat dari bahan ini, sebaiknya dapat mengendalikan dirinya sendiri.
Teteken: seken-seken tungked
Jero Gede menambahkan, meskipun kayu-kayu pilihan sudah ditentukan dan tongkat itu juga dibuat dengan seksama, maka yang harus perhatikan adalah pemegang tongkat itu sendiri. Menurut Jero Gede, seseorang yang sudah berani memegang tongkat secara niskala atau memegang tongkat dalam aspek spititual, maka seyogyanya dia adalah orang-orang yang sejatinya sudah benar-benar matang lahir dan batin.
Tongkat dalam terminologi agama Hindu di Bali, disebut juga dengan nama teteken. Secara harafiah ini memiliki arti ditekan, secara simbolis ini memiliki difinisi “yang benar-benar serius” atau “mula seken”. Seken adalah sejati, dan sejatinya itu merupakan sebuah kesadaran manusia pada jalan kebenaran. Itulah tungked manusia Hindu Bali. Bukan semata-mata sebuah tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan ketika dia tua, melainkan sebuah cerminan penguat rasa, bahwa orang yang membawa tongkat itu benar-benar telah melihat kehidupan secara nyata.
(Agus Budi Adnyana) Majalah Hindu Raditya