Senin, 01 Oktober 2012


Membuat Tongkat dari bahan Bertuah 

Tongkat kayu Sulaiman dari Hutan Sumbawa
Pada masyarakat Bali, tongkat adalah salah satu barang seni yang juga sekaligus bernilai spiritual. Karenanya, ada tongkat tertentu yang merupakan simbol keagamaan dan pada bagian lain sejumlah tongkat diyakini memiliki kekuatan gaib. Berbeda halnya dengan tongkat biasa atau souvenir untuk wisatawan, maka tongkat-tongkat yang diharapkan memiliki nilai niskala harus dibuat dari kayu-kayu tertentu dan memperhatikan sejumlah syarat.

Pedoman Aji Janantaka
Jero Gede Wayan Sacita Nagara, 45 tahun, yang tinggal di banjar Sengguan Kawan, Gianyar adalah seorang perajin yang sekaligus seorang rahaniawan Hindu yang menyebutkan, bahwa tongkat itu dapat dibuat dari berbagai macam jenis kayu, tergantung untuk apa dan menjadi tongkat apa. Ia menyebut berbagai jenis kayu yang baik digunakan sebagai tongkat, seperti, kayu cendana, majegau, krsnadana, bradah dan lain sebagainya. Menurut Jero Gede, apa yang termuat di dalam lontar “Aji Janantaka” sudah memberikan kita garis dan batasan jelas mengenai kayu-kayu apa yang dapat dijadikan tongkat agar memiliki tuahnya tersendiri. Sebut saja kayu “sentigi”, itu adalah kayu sakti yang baik digunakan tongkat bagi kaum yang suka sekali melanglang bhuana dalam dunia magis, atau sekedar suka mengadu ilmu kawisesan.

Kayu itu diyakini sekali memiliki tuah yang dapat menolak serangan gaib dan bila batang kayu itu dipergunakan sebagai tongkat kemudian dibawa oleh orang yang benar-benar “wikan”, maka hasilnya adalah ia menjadi mandraguna. Tongkat itu sendiri juga akan memiliki tuah, jika selesai dibuat, tongkat dibersihkan kemudian disakralisasi lewat sebuah upacara yang bernama “pasupati”.

Pasupati sendiri menurut Jero Gede, hanya sebatas proses sakral yang akan menjadikan pemegangnya pada keyakinan atau sugesti yang lebih kuat dari sebelumnya. Sebab “pasupati” itu sendiri akan membawa dampak psikologis secara niskala bagi pembawanya. Misalnya, jika kita membeli sebuah tongkat yang ada di pasar seni yang tentunya tanpa disertai proses sakralisasi, maka tongkat itu hanyalah sebuah tongkat hiasan yang tidak memiliki makna spiritual, apalagi yang membawa adalah orang-orang biasa.

Lain lagi, jika yang membawa itu adalah seorang wiku, atau sulinggih, kemudian tongkatnya kapasupati, maka akan membawa makna yang jauh lebih dalam dalam aspek niskala dari yang pertama. Namun tidak mesti seorang sulinggih harus memasupati tongkatnya, sebab kembali lagi, itu masalah sugesti dan hanya memperkuat rasa, tidak lebih. Jero Gede sendiri memberikan sebuah pendapat bahwa tongkat yang dibeli di pasar seni yang menjadi barang komersial, jika dibuat dengan proses yang benar, dewasa ayu yang baik, maka tanpa proses pemasupatian pun, maka suatu ketika nanti dapat saja tongkat itu menjadi “hidup” dan bertuah.

Ada banyak contoh kasus untuk hal ini. Jero Gede menuturkan, suatu ketika ada seorang “pemangku” yang membeli sebuah tongkat di pasar seni. Kemudian tongkat itu dibawa pulang dan dipergunakan sebagai mana mestinya untuk membantu jero mangku berjalan karena usianya sudah renta. Tongkat itu sebenarnya tidak mengalami sebuah proses sakralisasi (pasupati) atau sebuah upacara yang lainnya. Bahkan tongkat itu diletakkan sembarangan, sebentar-sebentar ada di bawah kolong tempat tidur, kemudian di dapur atau ditempatkan di depan kamar mandi, sesuai kebutuhan ke mana jero mangku lingsir itu pergi.

Suatu ketika, tongkat itu ternyata mengeluarkan sebuah mukjikzat. Ceritanya, tongkat itu dapat menyembuhkan orang sakit dan dapat melindungi sang pemilik dari berbagai macam serangan gaib. Padahal tongkat itu tidak kapasupati. Di sinilah perannya sebuah kualitas sang pembuat, dan menurut Jero Gede kemungkinan besar saat tongkat itu dibuat, dewasa ayu-nya sangat baik, kemudian kayu yang dipergunakan juga merupakan kayu-kayu utama yang tertera dalam lontar Aji Janantaka dan lontar Taru Pramana. Meskipun tidak kapasupati atau mengalami sebuah proses sakralisasi, namun tuahnya didapat dengan alami.

Jero Gede yang juga merupakan seniman topeng ini memberikan penjelasan, bahwa meskipun tongkat itu kapasupati, namun jika dewasa ayu saat membuat tongkat itu buruk, kemudian kualitas kayunya juga buruk, maka reaksi dan akibat pasupati-nya itu tidaklah dirasakan dengan sempurna. Misalnya, ada sebuah kayu roboh dengan sendirinya karena akarnya dimakan rayap, usianya sudah sangat tua. Kemudian kayu itu tumbuh di tepi selokan atau parit, lalu kayu itu dipotong dan batangnya dijadikan tongkat.

Kayu yang Tidak Baik untuk Tongkat
Saat memotong kayu, saat membuat tongkat, dewasa ayu tidak diperhatikan, setelah jadi malah tongkatnya kapasupati, maka hasilnya tidak akan optimal. Tambah gawat lagi jika kayu itu bukan kayu yang bertuah, alias kayu-kayu nyakitin, maka bukan kebaikan yang diberikan pada pemiliknya namun petaka.

Menurut Jero, kayu-kayu yang berkualitas buruk itu adalah sebagai berikut: (1) Kayu yang pernah disambar halilintar (sander kilat). Misalnya dalam sebuah ladang, hutan atau sawah, tumbuh batang kayu besar, dan hlilintar pernah menyambarnya, maka kayu ini tidak baik untuk tongkat atau bahan bangunan. (2) Kayu mungkatang raga, atau kayu yang roboh sendiri karena termakan usia, rayap dan sebagainya. Juga tidak baik dipergunakan untuk tongkat. Meskipun kayu itu kayu-kayu yang dipandang angker, seperti pule, kepuh rangdu, dan lain-lain. (3) Kayu yang tumbuh di kuburan (setra), meskipun kayunya kokoh, batangnya lurus dan sangat kuat, namun karena tempat tumbuhnya itu di kuburan, maka tidak baik dipergunakan untuk tongkat, apalagi tongkat Ida Sulinggih atau tongkat yang akan dibawa bagi sang wiku. (4) Kayu Tunggak Semi, adalah sebuah pohon yang dulunya pernah dipotong habis dan tumbang, kemudian karena seiring berjalannya waktu, kayu itu tumbuh kembali dan menjadi besar. Lalu batangnya dipotong dan dipergunakan tongkat, maka hasilnya akan buruk. Sebab kayu jenis ini tidak baik dipergunakan untuk tongkat apalagi jika tongkat tersebut, akan dipergunakan untuk benda sakral. (5) Kayu akweh sauca (kayu yang banyak matanya /soca). Kayu ini juga akan sulit untuk dijadikan tongkat, sebab mengingat akan kesukaranlah seseorang yang membuat ukiran bagian atas tongkat.

Berikutnya yang tidak baik digunakan sebagai tongkat adalah, (6) Kayu yang tumbuh menjadi pagar pembatas. Misalnya, jika ada sebuah pekarangan rumah, tanah dan tegalan, kemudian temboknya atau pembatasnya itu ditanam sebuah batang kayu, karena saking lama, batang kayu itu tumbuh besar, lalu dipotong untuk tongkat, maka hasilnya kurang bagus. (7) Kayu surudan adalah kayu yang bekas dipakai untuk hal-hal aneh sebelumnya, misalnya untuk tiang jemuran, atau kayu yang pada awalnya dipergunakan untuk sebuah penyangga tenda, rumah dan pondok atau kubu, maka tidak baik dipergunakan sebagai tongkat. (8) Kayu abilan, adalah kayu bekas disensor, meskipun besar kuat dan panjang, maka tidak baik dipergunakan untuk sebuah tongkat. (9) Kayu bekas rumah juga tidak baik dipergunakan sebagai tongkat. (10) Kayu yang didapat ditempat orang yang habis menggelar upacara Pitra yajna, misalnya dalam sebuah pekarangan ada upacara ngaben, lalu dibuatkanlah sebuah petulangan lembu, bade dan sebagainya. Sisa dari pembuatan itu, juga tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. (11) Kayu yang dahulunya pernah kena tempat musibah, misalnya di dahan kayu itu, pernah ada orang yang gantung diri. Kayu ini juga tidak baik dipergunakan untuk tongkat.

Menurut Jero Gede Sacita, itulah kayu-kayu yang tidak baik jika dipergunakan sebagai tongkat. Tetapi jika hanya membuat sebuah tongkat yang tujuannya hanya komersial semata, bersifat profane tanpa sebuah pelibatan proses sakralisasi, maka kayu apa saja, asalkan kuat dan panjang dapat dijadikan sebuah tongkat.
Tetapi jika menginginkan sebuah tongkat yang memiliki tuah bagus, nilai sakral yang tinggi serta memang diperuntukkan untuk sebuah benda-benda sakral, maka perhatikan pemilihan kayu.

Kayu Baik Lainnya
Pria yang tahun 2012 ini juga ngayah sebagai Klian Adat Sengguan Kawan ini, memberikan beberapa contoh kayu yang baik untuk tongkat yang memang diperuntukkan bagi kesakralan baik pengguna ataupun tongkat itu sendiri: Pertama, Kayu yang katunas di pura atau areal suci pura. Bisanya ini tidak dapat diperoleh sembarangan, perlu sebuah ijin dari pengempon pura, jero mangku yang bersangkutan ataupun restu dan berkat dari Ida Bhatara yang memang berstana di pura tersebut. Kayu ini pun jika saat nunas menggunakan banten pejati dan tidak boleh sembarangan main tebang dan main tebas. Perlu sebuah atur piuning ke hadapan Ida Bhatara yang berstana di pura.

Kedua, kayu yang tumbuh di hutan-hutan, tegalan yang tidak menjadi tanaman pembatas jalan atau tanaman pagar halaman atau penyengker. Dengan kata lain, kayu ini tumbuh di wilayah hutan yang memang bebas dari perhitungan kayu buruk seperti yang dipaparkan di atas.

Ketiga, kayu yang bersinar sekala niskala. Kayu jenis ini hanya dapat dideteksi oleh orang-orang yang memang mata batinnya sudah terbuka. Keempat, kayu yang tumbuh di tepai danau, pantai dan juga sungai.
Beberapa contoh kayu yang baik lainnya menurut Jero Gede di antaranya, kayu krsnadana, bradah dan juga santigi atau kayu sulaiman. Semua kayu tersebut baik digunakan sebagai tongkat apalagi untuk pengembara yang suka bepergian ke tengah hutan. Kayu sulaeman sendiri dapat memberikan kita perlindungan dari bahaya serangan ular berbisa. Ular-ular dalam jarak sekian meter akan takut berhadapan dengan orang yang memegang tongkat dari kayu sulaeman. Itulah sebab mengapa kayu sulaeman dipilih oleh sekian banyak pengembara dalam membuat tongkat, sebab hutan adalah wilayah yang banyak dihuni oleh ular dan binatang berbisa lainnya.

Hati-hati Buluh Empet
Selain itu, ada juga tongkat yang terbuat dari tiying empet. Jika kita melihat bamboo (tiying) empet, maka ini adalah jenis bambu yang ada baik dan buruknya untuk dijadikan sebuah tongkat. Bambu ini adalah sebuah bambu yang buluhnya tidak kosong atau empet (mampat). Bambu ini biasanya terbentuk disebabkan karena adanya pemampatan sari energi dalam batangnya atau buluhnya, sehingga ia tidak berlubang dan tidak memiliki rongga. Ada juga yang menyatakan bahwa bambu ini adalah bambu yang digemari oleh makhluk halus.

Ada juga orang yang membuat tongkat mereka dengan menggunakan bambu jenis ini. Jika menggunakan bambu jenis ini, maka seseorang yang membawanya diyakini akan kebal terhadap senjata jenis apa pun dan mampu menghalau makhluk halus lainnya. Juga dapat dipergunakan sebagai penawar racun. Tetapi kemalangannya adalah, seseorang yang membawa tongkat dari bambu empet ini, akan cepat sekali emosi. Amarahnya meledak-ledak dan oleh sebab itulah, mengapa orang yang membawa tongkat dari bahan ini, sebaiknya dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Teteken: seken-seken tungked
Jero Gede menambahkan, meskipun kayu-kayu pilihan sudah ditentukan dan tongkat itu juga dibuat dengan seksama, maka yang harus perhatikan adalah pemegang tongkat itu sendiri. Menurut Jero Gede, seseorang yang sudah berani memegang tongkat secara niskala atau memegang tongkat dalam aspek spititual, maka seyogyanya dia adalah orang-orang yang sejatinya sudah benar-benar matang lahir dan batin.

Tongkat dalam terminologi agama Hindu di Bali, disebut juga dengan nama teteken. Secara harafiah ini memiliki arti ditekan, secara simbolis ini memiliki difinisi “yang benar-benar serius” atau “mula seken”. Seken adalah sejati, dan sejatinya itu merupakan sebuah kesadaran manusia pada jalan kebenaran. Itulah tungked manusia Hindu Bali. Bukan semata-mata sebuah tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan ketika dia tua, melainkan sebuah cerminan penguat rasa, bahwa orang yang membawa tongkat itu benar-benar telah melihat kehidupan secara nyata. 

(Agus Budi Adnyana) Majalah Hindu Raditya

Rabu, 19 September 2012

KIAT Sukses

USAHA TOKO


Perkembangan usaha umumnya dan terutama pada toko tergantung pada penjualan. Sedangkan penjualan ditentukan dari dua hal yaitu pembeli dan penjualan. Dari sisi penjual peningkatan penjualan dapat dilakukan dengan menaikkan harga yang hal ini tidak mungkin dilakukan oleh toko, karena produknya standar dan banyak pesaing. Yang kedua adalah meningkatkan jumlah barang yang dijual yaitu dengan bisa dengan mempercepat putaran persediaan barang, dengan demikian menjual barang yang cepat laku lebih banyak, meskipun demikian juga tidak mudah karena toko untuk kelengkapan juga harus menjual barang yang lambat laku.
Teknik lain yang banyak digunakan agar barang cepat laku bisa dijual lebih banyak dengan memperbesar toko, hal ini banyak dilakukan oleh toko-toko atau minimarket sampai supermarket raksasa. Bila barang yang disajikan lebih banyak, maka diharapkan penjualan akan meningkat. Bila lokasi terbatas, maka penataan harus rapi dan memanfaatkan ruang sampai menyentuh langit-langit.

Ditinjau dari pembeli, pemilihan barang cepat laku juga perlu diteliti, disamping sembilan bahan pokok (sembako) dan rokok, barang mode/modis juga cepat laku, tapi juga cepat menurun penjualannya. Untuk itu bisa dipertimbangkan untuk menambah persediaan. Misalnya, pin, souvenir film kartun, cokelat Valentine, dsb. Produk lain akan mengikuti musim, misalnya musim anak sekolah, berarti kebutuhan sekolah akan naik, dekat puasa berarti kebutuhan buka puasa akan meningkat. Dan banyak peristiwa musiman lainnya.

Persaingan memang selalu ada. Untuk itu perlu dicermati keunggulan dalam berusaha. Supermarket atau toko lain mungkin memiliki jam tertentu. Jam atau waktu adalah faktor yang dapat dipakai keunggulan. Ada toko yang menjual sebelum toko lain buka, mungkin pukul 5 pagi. Ada toko yang tetap buka meskipun toko lain sudah tutup.

Harga murah memang menjadi pertimbangan, tetapi kalau pelanggan tidak mau datang, atau sedikit yang datang berarti ada permasalahan lain. Ada toko yang memberi harga murah pada barang yang paling dibutuhkan oleh pelanggan, yaitu beras. Bila beras murah, pelanggan akan datang. Untuk itu perlu diketahui juga lingkungan lokasi pembeli. Kalau minimarket kelas pembelinya sudah agak menengah. Kalau toko kecil biasanya pada kelas bawah, sehingga akan laku jika menjual sembako eceran, misalnya beras eceran, dalam literan atau kiloan, minyak kiloan atau literan dsb. Hal ini merupakan keunggulan. Meskipun barang murah, tetapi yang dijual adalah beras 5 kiloan paling kecil, sedangkan pelanggan minta hanya setengah atau satu liter, tentu tidak terbeli. Sama juga minyak goreng yang dijual adalah 1 liter, sedangkan pembeli ingin ¼ liter. Hal yang lain juga berlaku untuk penjualan rokok ketengan, telor eceran dan sebagainya. Ada baiknya kadang kala beli di toko yang lain untuk mengetahui situasinya, kalau dilakukan sendiri sungkan, perlu minta tolong saudara atau teman mengamati toko pesaing.

Dengan demikian posisi toko harus jelas untuk kelas mana. Ketidaktepatan menentukan posisi di mata pelanggan membuat toko tidak jelas dipandang oleh pelanggan. Pengembangan produk toko bisa masuk ke bisnis makanan, minuman, jus, dsb.

Penjualan air mineral dan gas juga merupakan alternatif. Pemilihan alternatif ini disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, karena ada yang memerlukan modal besar, maupun yang kecil. Membuat minimarket harus jelas pembelinya dahulu. Bila tidak tepat analisisnya bahkan membuat masalah baru lagi. Lebih baik toko yang ada dikembangkan dengan pengembangan produknya. Penjualan toko yang tetap atau stabil, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu bearti sudah mapan, yang dipikirkan adalah pengembangannya.

Sementara untuk bisnis konter, persaingan sangat tinggi, dan keuntungan yang diperoleh cenderung tipis. Memang sekarang baru trend, tetapi pesaing juga bergerak sangat cepat. Bila tidak membuat inovasi pada konter, penjualan akan cepat menurun dengan adanya persaingan. Karena penjualan konter sedang meningkat dan bila penghasilan konter lebih besar dari toko, berarti toko ini bisa diperkirakan sangat kecil atau lebih kecil dari konter. Untuk itu memang perlu diamati lagi dan diperbandingkan dengan pesaing pada toko yang lain.

TOKO GELUNG SARI


Kami melayani dengan penuh kekeluargaan


Apabila anda kebetulan travelling dari arah kota Singaraja menuju Kintamani  sekitar 6 km dari kota Singaraja, tepatnya di perbatasan Desa Giri Emas dengan Desa Sangsit anda akan melewati Toko Gelung Sari. 
Mungkin anda memerlukan makanan kecil atau sekedar air mineral buat melengkapi perjalanan anda silahkan mampir. Kami selalu sedia minuman dingin berbagai produk,atau anda sedang ber Yatra memerlukan dupa harum, kami menyediakan beraneka aroma dupa wangi. 

Sabtu, 07 Juli 2012

YADNYA


Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
  1. Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
  2. Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
  3. Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
  4. Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
TINGKAT PELAKSANAAN YADNYA
Di dalam menghayati serta mengamalkan ajaran agama, maka pelaksanaan Yadnya dilakukan secara bertingkat sesuai dengan kemampuan umat masing- masing. Adapun bentuk pelaksanaan Yadnya itu adalah sebagai berikut:
  1. Dalam bentuk pemujaan (sembah, kebaktian) ditujukan kepada:
    a) Sang Hyang Widhi Wasa.
    b) Para Dewa/ Dewi yang merupakan manifestasi kemahakuasaan- Nya.
    c) Para Bhatara/ Bhatari, Leluhur.
  2. Dalam bentuk penghormatan ditujukan kepada:
    a) Pemerintah/ Pejabat Pemerintah.
    b) Orang- orang yang lebih tua atau yang berkedudukan lebih tinggi.
    c) Orang- orang yang berjasa dan para tamu.
    d) Makhluk- makhluk yang nampak dan tidak nampak yang lebih rendah derajatnya daripada manusia.

    Adapun bentuk rasa hormat yang kita berikan itu adalah tanpa merendahkan martabat diri sendiri, akan tetapi didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kerendahan hati dan prinsip saling hormat menghormati, harga menghargai, percaya mempercayai satu dengan yang lain.
  3. Dalam bentuk pengabdian, baik kepada keluarga, masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air, dan kemanusiaan. Pengabdian yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa adalah merupakan pengabdian yang tertinggi nilainya. Pengabdian kepada keluarga (anak-istri), masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air dan kemanusiaan itu, satu dengan yang lainnya saling berkaitan.
    Besar kecilnya pengabdian yang dapat kita berikan (abdikan) tergantung atas kemampuan kita masing-masing.
  4. Dalam bentuk cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, terutama dalam keadaan melarat, menderita, terkena bencana/ malapetaka, di mana kemauan dan tindakan suka serta ikhlas berkorban sangat berperan di dalam bentuk cinta dan kasih sayang ini, demi kebahagiaan bersama dan kesempurnaan hidup.
  5. Dalam bentuk pengorbanan di mana pengorbanan benda, tenaga, pikiran, jiwa dan raga dapat diberikan demi menjunjung tinggi cita- cita yang mulia dan luhur, baik dalam hubungan dharma kepada negara maupun kepada agama (Dharmaning Negara dan Dharmaning Agama).
Dari kelima bentuk pelaksanaan yadnya tersebut dapat disimpulkan bahwa arti yadnya itu sangat luas dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma, bukan saja terbatas pada pelaksanaan Panca Yadnya ataupun pelaksanaan dari berbagai bentuk upacara- upacara yang menggunakan sarana ataupun yang tanpa menggunakan sarana.

Senin, 02 Juli 2012

BUKAKAK DI GIRI EMAS

DESA GIRI EMAS
Desa Giri Emas Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng merupakan hasil pemekaran Desa Sangsit yang diresmikan menjadi Desa Difinitif pada tanggal 14 November 2005. Luas Wilayah Desa: 290 Ha. Letak Wilayah Desa Giri Emas terletak dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Utara - Laut Bali, Timur - Desa Bungkulan, Selatan - Desa Jagaraga, Barat - Desa Sangsit. 

BUKAKAK 
Pada hari Purnama Kedasa, kerama Subak Dangin Yeh Desa Giri Emas melakukan upacara Ngusaba Subak dan Ngusaba Desa. Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur dan terima-kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atas rachmatnya yang telah memberikan hasil panen yang melimpah. Dalam rangkaian upacara ngusaba, anggota subak dan anggota desa secara keseluruhan menbuat Bukakak. Bukakak berasal dari kata Lembu dan Gagak, Lembu melambangkan Ciwa dan Gagak melambangkan Wisnu. Bukakak merupakan simbul perpaduan antara sekta Ciwa, Wisnu dan juga Sambu. Bukakak ini diwujudkan sebagai seekor burung Garuda/Paksi yang di buat dari daun enau muda yang dalam bahasa lokal disebut ambu. Sedangkan sarana untuk pelinggih/singgasana yang akan naik di atas garuda adalah seekor babi hitam pulus yang diproses menjadi dua warna yaitu Hitam (warna bulu asli) melambangkan Dewa Wisnu, separuh lagi warna putih (Bulu di bersihkan) melambangkan Dewa Ciwa. Sedangkan babi itu sendiri adalah simbul Dewa Sambu.

Berikut adalah photo2 tentang aktifitas aktifitasnya...


Dangsil

Bentuk menyerupai Tiga buah Meru terbuat dari pohon pinang di hias daun enau berbentuk lingkaran yang masing-masing berjumlah tujuh, sembilan dan sebelas. Dangsil ini melambangkan tingkat para Dewa tertinggi Ciwa Sada Ciwa dan Parama Ciwa.





Pura Pasek

Terletak di sentral Desa, persis di pinggir jalan Raya Giri Emas-Singaraja, merupakan sentral aktifitas upacara Ngusaba ini di laksanakan. Pura ini merupakan cikal bakal perkembangan dan aktifitas kegiatan desa secara umum. Pura ini  disungsung oleh kerama desa secara umum dan kerama Dadya Pasek sebagai pengempon. Sangat disayangkan ketika pura ini di pergunakan untuk kegiatan aktifitas desa yang di dominasi oleh kerama subak sehingga di klaim sebagai Pura Subak. Kalau kita melihat dari struktur pelinggih Ida Betara yang di sentanakan, pelinggih utama adalah Ida Betara Ratu Pasek. Ratu Pasek disini bukan semata milik klen Pasek tetapi sebagai Jabatan tertinggi, jadi seluruh kerama dese wajib untuk menghaturkan sembah bakti kehadapan Ida Betara Ratu Pasek. Sedangkan kalau dikaitkan dengan pemujaan Beliau yang berhubungan erat dengan Hyang Geni Jaya maka Bliau adalah sebagai Brahma, jadi lebih tepat Pura Pasek ini adalah merupakan Pura Desa. Secara umum bisa dibandingkan dengan sejarah perkembangan Pura Bale Agung Buleleng.



Kerama Desa bersama-sama membuat Bukakak di Jaba Pura Pasek


Bukakak sebagai pelinggih atau kendaraan Ida Betara yang menyerupai Burung/Paksi telah siap dan di prayastita atau di sucikan secara niskala agar terbebas dari keletehan/kekotoran fisik maupun non fisik.


Sekitar pukul 11.00 Wita Kerama desa berdatangan siap untuk mengikuti perjalanan Ida Betara yang akan anjangsana ke Pura yang sudah ditentukan. Untuk mengetahui kemana tempat/Pura yang akan di tuju,   beberapa hari sebelumnya sudah  nuntun Ida Betara yaitu mohon petunjuk dengan jalan dialog secara supra naural oleh Jro Mangku. Kerama desa yang akan mengusung Bukakak hanya diperbolehkan bagi yang sudah dewasa, sedangkan yang masih tergolong remaja hanya boleh mengusung sarad atau jempana.
Pengusung Bukakak berpakaian putih merah sedangkan pengusung Jempana berwarna putih kuning. Warna merah putih sangat sarat akan makna. Merah simbul darah dan putih simbul getah. Merah dan putih merupakan simbul kesatuan kehidupan semesta seutuhnya. sedangkan putih kuning juga bermakna sangat dalam yaitu merupakan tunas-tunas kehidupan yang kelak tumbuh menjadi sempurna.

Sebelum perjalanan dimulai, terlebih dahulu diawali dengan menyucikan Ida Betara dan seluruh warga desa ke Pura Pancoran Emas. Di pura ini dibagikan berkah berupa bija /beras kuning yang telah diberkahi sebagai bekal kekuatan secara gaib untuk siap menempuh perjalanan jauh dan melelahkan dibawah teriknya matahari.





Ini adalah Sarad atau Jempana Linggih Ida Betara.